Tenang dalam Tangisnya

Hari ini, kami ada agenda belajar. Qadarullah, suami bilang gak bisa jemput karena ada keperluan mendadak dan minta aku untuk berangkat sendiri. Akhirnya, aku harus ubah jadwal, berangkat lebih pagi menggunakan shejek. Namun, sdh mengagendakan untuk ajak zayd jalan pagi. Maka, aku dan zayd jalan pagi dulu sebelum bersiap belajar. Otakku berisik juga, "masak gak ya? Tapi masak apa? Stock di kulkas habis. Apa beli? Beli apa?". Akhirnya, memutuskan beli lauk untuk makan pagi dan siang zayd. Selesai jalan pagi, kami pulang ke rumah. Negosiasi panjang, karena zayd masih ingin main di luar. Tahan..tahan, beri pengertian dan terus dikomunikasikan. Berhasil pulang dan kami langsung makan. Biidznillaah, gak ada drama makan, sehingga memudahkan aku utk juga sembari menyiapkan perbekalan hari ini.

Mengukus ubi dan menyiapkan bekal makan siang zayd. Menyiapkan perlengkapan zayd dan segala macamnya di tas ransel.

Zayd selesai makan, kemudian mandi. Mandi pun banyak negosiasinya, akhirnya, ia minta untuk bawa centong sayur ke kamar mandi. Di kamar mandi, sembari memandikan zayd, aku membilas clodi yang sudah direndam sejak subuh. Selesai bilas, dikeringkan di mesin cuci, dan jemur. Zayd masih main centong sayur di kamar mandi. Kembali ke kamar mandi, selesaikan persoalan zayd. "Sudah mandinya yuk, kita siap2 berangkat", dijawab "abahdjsishd!!!!!" Dengan tangisan dan teriakan. Okey... Negosiasi kembali terjadi, percapakan panjang, aku lemparkan banyak pertanyaan dan pernyataan. Gak mempan juga. "Main centong sayurnya sore ya? Setelah kita pulang belajar. Sekarang, abang pakai handuk mobil dulu. Mana handuk mobilnya? Gimana suara mobil?". Barulah dia bisa bekerja sama.

Pakai baju. Pakai parfum, dan rapihkan rambut. "Umma ganti baju dulu, ya", dijawab "aaaaaaaabsjhd", harus ikut umma ganti baju. Oke. Ikut umma ke kamar. Selesai. Umma bersiap juga. "Mana kaus kaki abang? Mana sepatu abang?", dia ambil sendiri. Pakai kaus kaki dan sepatu. Tak lupa terus bertanya, "pakai dulu di kaki kanan, mana kaki kanan? Mana kaki kiri? Good joobb!".

Selesai bersiap. Kami berangkat.

Sampai di ma'had, kami melewati bagian ikhwan, ada syekh dan peserta ikhwan sdh mulai belajar. Zayd melihat para bapak-bapak di sana. Aku terus menuju ruangan akhawat. "Aaaaaaaannsjjajshaaaaaa!!!". Tangisnya pecah. Kejer. "Engga ada abati, aba gak ikut belajar, bang". Dijawab "aaaaajaddjajsye!!!". Oke.. dia nangis, dia mau sama abanya, seperti biasa, bersama aba di halaqoh. Namun, kali ini gak bisa. Tugasku bertambah. Menenangkan tangisnya padahal baru saja sampai. Gak enak hatiiii banget dengan teman2 yang lain, yang sedang belajar. Terus mencoba menenangkan, biidznillaah, zayd bisa tenang melalui mobilannya raslan (anaknya syekh) yang ada di ruangan akhawat.

Selesai? Belum. Dia gak mau duduk sendiri. Harus dipangku dan dipeluk. Oke.. "abang, ada buku muslim. Baca yuk. Abang duduk disini (aku tawarkan duduk sendiri)". Alhamdulillah, anaknya mau. Alhamdulillah, Alhamdulillah.

Setelah itu, selama belajar, dia sangat kooperatif dan tenang. Aku belajar pun sangat kondusif. Biidznillah. 

Pulang ke rumah dengan happy. Pulang sore, sampai rumah, zayd langsung main sore di luar rumah dengan temannya. Menjelang maghrib, pulang. Tapi, apakah mau? Engga. Dia gamau masuk rumah, akhirnya, digendong sama abanya, dan dia nangis. Gapapa. Gapapa. Memang harus nangis dulu.

Setelah nangis mereda, aku ajak mandi. Apakah mau? Engga. Dia memilih untuk baca buku muslim. Sedangkan waktu sudah jam 17.30. Negosiasi dimulai kembali. Membangun komunikasi kembali. "Ohiya, bukannya tadi pagi kita berencana untuk mandi sore pakai centong sayur lagi, ya, abang?". Dia teringat. Langsung beranjak menuju kamar mandi. Sampai depan kamar mandi, tiba-tiba gamau masuk. Dia ketakutan. Aku ingat, tadi pagi dia lihat ada kecoa di kamar mandi. Akhirnya, aku bangun kembali komunikasi. "Coba kita periksa bareng2, ada gak ya kecoanya???". Kami masuk kamar mandi bersama-sama. "Coba lihat di bawah, ohh... Gak ada ya. Coba lihat di pojok situ, hmm.. gak ada juga. Kamar mandinya bersih bang, gak ada kecoa lagii. Aman ya! Kita mandi yuk. Centong sayurnya udah ada disini". Akhirnya kita mulai mandi. Selesai mandiiii. Apakah zayd mau langsung keluar? Engga. Dia mau main centong sayur lebih lama. Negosiasi dimulai kembali. Dengan segala macam tawaran yang aku bisa berikan, dia enggan keluar kamar mandi. Akhrinya, pemaksaan adalah jalan pintas terakhir. Dia nangis. Gapapa. Kali ini nangis dulu.

"Sabar.. sabar.. abang mau makan? Abati lagi makan, tuh. Setelah mandi, kita makan sore dulu, oke?", akhirnya, dia mereda nangisnya. Makan sore berjalan dengan sangat baik dan kondusif. Makan sendiri dengan lahap. Aku tinggal shalat maghrib pun, dia masih melahap makanannya.

Setelah makan selesai, kembali ke kmar mandi untuk bersih-bersih. Apakah mau? Engga. Dengan segala macam cara, aku tetap ajak dia ke kamar mandi. Jujur, kehabisan ide. Akhirnya, zayd sendiri yang ambil panci masak air ke kamar mandi. "Iya, ambil, boleh. Bawa ke kamar mandi ya". Dia main panci di kamar mandi. Selesai bersih-bersih, apakah mau selesai? Engga juga. Dia gak mau keluar kamar mandi, padahal, sudah malam. Akhirnya, pemaksaan dimulai. Nangis? Tentu. Namun, aku mencoba tetap tenang. "Sabar.. sabar.. ini sudah malam, Abang. Bukan waktunya main di kamar mandi.. Kita bobo yuk, abang mau nen?" tangisannya mereda. Biidznillaah. Sampai akhirnya ba'da maghrib dia tidur dengan nyenyak tanpa drama.

Ternyata.. ketenangan Ibu menyikapi tangisan anak sangat membantu mempermudah anak meredakan tangisannya. Bukan dengan mengalihkan tangisnya kepada hal lain, melainkan membersamainya dalam mengelola emosinya.

Dan ketenangan seorang Ibu, tidak akan bisa hadir kecuali Allah yang hadirkan. Disini, aku belajar bahwa, ketenangan adalah solusi bathin sebelum solusi zhahir yang Allah berikan melalui anakku.

Ketenangan adalah nikmat besar dalam setiap kondisi yang tidak ideal.

Dan ketenangan adalah kebutuhan di setiap detik ketika memerankan setiap peran kehidupan.

Bahwa kebahagiaan bukan semata tentang mudahnya segala urusan, melainkan kebahagiaan adalah ketika Allah berikan taufik untuk tenang menyikapi setiap kendala di depan mata.

Bahwa solusi bathin jauh lebih dibutuhkan sebelum hadirnya solusi zhahir yang Allah berikan.

Komentar