Teguran Melalui Air Mata

Siapa sangka Allah menegur kita dari seseorang yang gak pernah kita bayangkan sebelumnya. Allah berikan kita peringatan untuk muhasabah lagi keikhlasan kita dalam belajar. Air mata itu bagai sebuah pedang yang menyayat jiwa, bagai sebuah dobrakan yang membuka mata secara paksa. Bahwa merasa diri kerdil, merasa diri gak bisa apa-apa, merasa diri bodoh adalah hal utama yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu. Dan Allah tampakkan hal itu di depan mata ku melalui seseorang yang tak pernah sama sekali aku bayangkan mampu memberikan aku pelajaran yang begitu mahal. 

Beliau tidak sadar bahwa dirinya lah yang sedang mengajarkan aku saat itu. Mengajarkan aku tentang keikhlasan, tentang ketawadhuan, tentang kesungguhan dalam belajar. Beliau bukan lah orang yang sering pergi ke majelis ilmu, beliau bukan pula orang yang berada di lingkungan penuntut ilmu, beliau hanya seorang ibu rumah tangga berusia 47 tahun yang qadarullah belum dikaruniai anak selama 19 tahun menikah, yang selalu menghubungi ponakan-ponakannya di luar kota untuk sekedar menanyakan kabar. Beliau hanyalah seorang ibu rumah tangga yang berdoa setiap selesai shalat agar Allah berikan kesempatan untuknya belajar mengaji, yang berharap bisa membaca Al-Qur'an. 

Allah as-Samii'.
Allah akan selalu tau isi hati hamba-hambanya, Allah pasti sangat tau kejujuran hamba-hambanya, dan Allah yang berkehendak mengijabah doa-doa hambaNya. Akhirnya, beliau bisa belajar ngaji setiap malam hari. Beliau belajar mulai dari huruf أ.

Allah selalu punya kuasa, Allah selalu punya cara, Allah maha pemberi peringatan, atas izinnya, beliau adalah orang yang menyadari aku untuk memeriksa lagi hati ku, keikhlasan ku, ketawadhuan ku. Mari kita introspeksi diri kembali. Sudah kah kita mencapai keikhlasan dan ketawadhuan? Sudah kah kita memperhatikan kondisi hati selama ini? Selama proses belajar dari awal hingga sekarang dan seterusnya?" Betapa buta nya kita. Betapa terlenanya kita.

Sebagaimana sabda Rasulullah salallahu 'alayhi wasalam,
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas  pada yang lain.” 
(HR. Muslim no. 2865)
Malam itu, tiba-tiba kepalanya tertunduk, tangannya menangkup wajahnya, lalu mengangkat kepala dan mengusap air mata beliau terisak, mengeluhkan lidahnya yang kelu. Sulit dirasa untuk mengucapkan hurufnya. Nafasnya tersengal. Sejenak aku terdiam. Air mata ini terbendung di pelupuk mata ku. Aku menahan agar tidak jatuh. Aku melihat persis di depan ku gambaran nyata seseorang yang merasa diri kerdil, merasa diri rendah, merasa diri gak bisa apa-apa. Aku melihat gambaran nyata seseorang yang tidak malu belajar kepada yang lebih muda. Aku, sebagai seorang ponakan, justru merasa malu, sungguh sangat amat malu, dengan apa yang telah aku ketahui, yang telah aku dapatkan, yang telah aku ajarkan, namun aku lupa untuk tetap mengatur hati agar tidak meninggi. Lupa untuk tetap mengatur hati agar tidak merasa paling mumpuni. Lupa untuk.... memeriksa seberapa kotornya hati.

Beliau terisak, menyesali betapa lama waktu yang terbuang tanpa digunakan untuk belajar mengaji. Beliau menyesali, di usia tua belum mampu membaca ayat-ayat Allah. "Sudah terlambat ya...", katanya. Aku terdiam. Sungguh hatiku seperti terjun bebas tanpa aba-aba. Ingin rasanya ikutan menangis. Ingin rasanya memeluk sambil mengatakan, "harusnya bahagia, merasa kesulitan dalam belajar yang pasti akan dapat pahala yang begitu besar. karena besarnya pahala sesuai dengan kadar kesulitannya". Tapi apalah diri ini, hanya mampu diam mematung dan memandang beliau.

Beliau mengusap air matanya, "bismillahirrohmanirrohim.. bisa harus bisa", kemudian mencoba membaca lagi huruf demi hurufnya. Sungguh, beliau guru terbaik untuk aku saat itu, tanpa beliau sadari. حفظها الله

Jangan lah memandang rendah siapa pun, bisa jadi, doa yang dilangitkan oleh orang yang mungkin jauh dari majelis ilmu adalah doa dari hati yang jujur, doa dari hati yang ikhlas, doa dari hati yang penuh harap. Sedangkan kita, mungkin berdoa hanya sekedar berdoa, bahkan tak jarang kita terdiam dalam doa karena bingung mau minta apa lagi. Bukti bahwa diri kita masih perlu untuk ditempa lagi dengan keimanan, ketaqwaan, agar melahirkan hati yang ikhlas. 

Kembali lah.. kembali lah kepada hati yang bersih. Sungguh, ketaatan tidak mampu dilakukan kecuali dengan hati yang bersih.


Serang, 2020

Komentar