Aku bertanya, Ustadz Menjawab


Pertanyaan seorang Ibu yang merasa rendah, merasa tak berharga, dan tak bernilai. Ibu yang merasa dirinya tak melakukan apapun. Ibu yang merasa tak punya sesuatu yang priceless atas apa yang telah diupayakan. Ibu yang merasa "hanya" begini-begini saja.

Atas izin Allah, pertanyaanku dijawab oleh ustadz. Buru-buru aku menyimak jawaban beliau..

Ketika beliau membaca pertanyaanku, beliau berhenti di kalimat,
"hanya? Ini gak hanya hadirin.. ini susah loh. Kita aja (suami) belum tentu bisa melakukan ini semua. Setuju gak? Jadi, ngurus anak, ngurus rumah, masak, menunaikan hak suami, ini semua gak 'hanya'. Ini susah banget. Ini luar biasa. Jadi jangan bilang 'hanya', lah.. kita semua kagum dengan beliau yang bertanya"

Hatiku terenyuh mendengarnya. Seakan aku memiliki semangat membara untuk terus melakukan rutinitas ini. Ternyata, rutinitasku adalah sebuah hal yang menakjubkan? Ternyata, bagi mereka, rutinitasku luar biasa? Bagaimana bisa selama ini aku tutup mata dan merasa semuanya adalah hal kecil dan remeh? Aku hanya lupa bahwa inilah fitrah wanita dan inilah kebaikan yang besar, ladang pahala yang luas.

Dalam pertanyaan itu juga aku menyebutkan bahwa,
Merasa tertinggal, rendah, merasa begini-begini saja dan tidak ada upgrade diri. Saya merasa semua ini sebab kegiatan yang hanya berputar pada rumah, anak, dan suami.
Bagaimana respon ustadz?
"Setuju gak kalau pola ini tuh hanya begini-begini aja, tertinggal, tidak ada upgrade diri? (Bertanya kpd audience di tempat beliau). Gak setuju, gak ada yang setuju. Ini semua tuh kebaikan. Apalagi mayoritas waktu digunakan bersama anak, pasti ada upgrade diri. Ngurus anak itu sebuah kausalitas, hubungan sebab akibat. Ngurus anak itu susah loh, gak mungkin gak ada upgrade diri, pasti ada upgrade dari sisi kesabarannya."

Disini aku semakin terenyuh, betapa aku luput dalam menyadari ini semua. Bahwa, setiap kali, setiap hari, setiap detik membersamai Zayd, tentu aku belajar sabar, belajar lembut, belajar cara bicara, belajar merespons, dan belajar untuk tetap tenang. Aku sungguh benar-benar belajar walau tanpa buku dan pena. Aku belajar menjadi ibu setiap detiknya. Maka, bukankah aku juga seorang pembelajar? Hanya saja, di kotak yang berbeda. Maka, tak perlu merasa rendah sebab kini aku belajar secara praktikal dengan amanah besar yang Allah berikan.

Pertanyaan sederhana ini sungguh membuat aku kembali tersadar betapa mulianya peran yang kuemban sekarang. Seringkali, rumput teman lain begitu hijau dan rimbun. Sedangkan melihat taman sendiri, lalai mensyukuri.

Lagi dan lagi,
Bukankah suami dan anak adalah objek doa yang sangat diupayakan di waktu mustajab kala itu, Ghina?
Maka, bersyukur lah kepada Allah.


Ditulis menjelang tidur, 00.21,
Malam ini, Zayd tidur dengan Aba, bukan aku.
Barakallahu fiikum Zayd dan Aba



Komentar